Sabtu, 13 Desember 2014

Diam Lebih Baik

Headline
SALAH SATU godaan paling berat bagi kita ialah menahan diri atau diam di dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti menahan diri untuk tidak nimrung dalam sebuah kelakar, menahan diri untuk tidak mengeluarkan unek-unek di dalam pikiran, atau menahan diri untuk tidak hanyut ketika kita sedang curhat.


Rasanya semua cadangan informasi di dalam kepala dan di hati akan dibongkar semua. Padahal, tidak sedikit orang menuai penyesalan karena terlalu banyak bicara. Di sinilah perlunya menahan diri dan membiasakan diri untuk diam perlu dilatihkan di dalam diri kita.
Agama juga selalu mengajarkan, khususnya dalam Islam, agar kita membatasi diri bicara. Bukan tidak boleh bicara tetapi bicara seperlunya. Nabi Zakariya pernah diminta bernazar untuk berpuasa bicara selama tiga hari ketika ia dikaruniai anak yang sudah lama dinanti-natikan:
 “Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat". (Q.S. Maryam/19:10).

Akhirnya doanya dikabulkan dan Nabi Zakariya pun menunaikan nazarnya, berpuasa bicara selama tiga hari.
Puasa biara atau diam bukan pekerjaan mudah bagi orang normal. Namun Allah Swt selalu mengingatkan kita agar hati-hati soal biara, sebagaimana firman-Nya:
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. (QS. Al-Ahzab/33:70).

Dalam hadis Nabi disebutkan:
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasulunya maka hendaklah ia mengatakan yang benar atau lebih baik diam”.
Nabi juga mengingatkan kita:
Sesungguhnya dosa yang paling banyak dilakukan oleh anak cucu Adam adalah pada lidahnya”. “Musibah itu terwakili melalui ucapan”.
Sesungguhnya dosa yang paling banyak dilakukan oleh anak cucu Adam adalah pada lidahnya”. “Barangsiapa yang banyak bicara, banyak juga kekeliruannya. Barangsiapa yang banyak kekeliruannya, banyak juga dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya, maka nerakalah yang paling tepat tempatnya”.
Sebagian ulama mengatakan: “Manusia diciptakan dengan hanya satu lidah, dan dua mata dan dua telinga adalah agar ia melihat dan mendengar lebih banyak dari pada berbicara.”
Namun tidak selamanya diam itu baik. Adakalanya seseorang harus dan wajib biara, terutama menyuarakan kebenaran, sebagaimana sabda Nabi:
 “Katakanlah kebenaran itu meskipun pahit”. Basyar al-Hafi pernah mengatakan: “Jika suatu pembicaraan membuatmu terkagum-kagum, maka sebaiknya anda diam saja. Dan jika diam justru membuatmu terkagum-kagum, maka sebaiknya anda angkat bicara”.

Hal senada juga disampaikan Lukman kepada puteranya:
 “Jika bicara itu adalah perak, maka diam adalah emas. Sesungguhnya aku menyesali atas suatu ucapan berulang-ulang, namun aku tidak menyesali diam sekali pun. Abu Ali al-Daqqaq juga pernah berkomentar: “Barangsiapa diam dari kebenaran, maka dia adalah setan bisu”.

Dalam situasi lain, seseorang yang diminta untuk biara harus bicara, terutama jika pembiaraan itu mendatangkan maslahat dan menegah mudharat. Misalnya, jika seorang hamba berbicara mengenai sesuatu yang dapat menolongnya dan sesuatu yang mesti dia bicara, maka hal itu masih dikategorikan sebagai diam.
Konon, Abu Hamzah al-Baghdadi adalah seorang yang bagus bicaranya, lalu terdengar suara memanggilnya: “Engkau berbicara dan bicaramu bagus, sekarang tiggallah engkau diam sehingga engkau menjadi bagus. Setelah itu, ia tidak pernah lagi bicara hingga wafatnya. [*]




Tidak ada komentar: